Selasa, 11 September 2012

Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam

* Sumber ilmu ekonomi Islam Menurut M Akram Khan, sumber pembentukan ilmu ekonomi Islam adalah: 1. Al-Qur’an 2. As-Sunnah 3. Hukum Islam dan yurisprudensinya (Ijtihad) 4. Sejarah peradaban umat Islam 5. Berbagai data yang berkaitan dengan kehidupan ekonomi. Ekonomi Islam diperlukan ijtihad dengan menggunakan rasio/akal. Ijtihad terbagi kepada dua macam, yaitu ijtihad istimbathi dan ijtihad tathbiqi. Ijtihad istimbathi bersifat deduksi, sedangkan ijtihad tathbiqi bersifat induksi. Dari segi kuantitas orang yang berijtihad, ijtihad dibagi kepada dua, yaitu ijtihad fardi (individu) dan ijtihad jama’iy (kumpulan orang banyak). Ijtihad yang dilakukan secara bersama disebut ijma’ dan dianggap memiliki tingkat kebenaran ijtihad yang paling tinggi. Dalam membicarakan epistemologi ekonomi Islam, digunakan metode desuksi dan induksi. Ijtihad tahbiqi yang banyak mengunakan induksi akan menghasilkan kesimpulan yang lebih operasional, sebab ia didasarkan pada kenyataan empiris. Selanjutnya, dari keseluruhan proses ini –yaitu kombinasi dari elaborasi kebenaran wahyu Allah dan as- Sunnah dengan pemikiran dan penemuan manusia yang dihasilkan dalam ijtihad akan menghasilkan hukum dalam berbagai bidang kehidupan. Jika diperhatikan, maka sesungguhnya Shuratic proses ini merupakan suatu metode untuk menghasilkan ilmu pengetahuan yang memiliki akar kebenaran empiris (truth based on empirical process)

(http://agustianto.wordpress.com/2008/01/05/epistemologi-ekonomi-islam/)

* Pendahuluan
Membicarakan sistem ekonomi Islam secara utuh, tidak cukup dikemukakan pada tulisan yang sempit ini, karena sistem ekonomi Islam mencakup beberapa segi dan mempunyai ketergantungan dengan beberapa disiplin ilmu lainnya sebagaimana juga yang ditemukan pada studi ekonomi umum. Persolan sistem bank syari’ah hanyalah sebagian kecil dari sederetan masalah-masalah yang terdapat dalam studi ekonomi Islam.
Kendati demikian, sistem ekonomi Islam mempunayi ciri khas dibanding sistem ekonomi lain (kapitalis-sosialis). Dr. Yusuf Qordhowi, pakar Islam kontemporer dalam karyanya “Daurul Qiyam wal akhlaq fil iqtishod al-Islamy” menjelskan empat ciri ekonomi Islam, yaitu ekonomi robbani, ekonomi akhlaqy, ekonomi insani dan ekonomi wasati. Keempat ciri tersebut mengandung pengertian bahwa ekonomi Islam bersifat robbani, menjunjung tinggi etika, menghargai hak-hak kemanuisaan dan bersifat moderat.

Perkembangan Studi Islam
Sejarah perkembangan studi ekonomi Islam dapat dibagi pada empat pase:
Pase pertama, masa pertumbuhan
Pase kedua, masa keemasan
Pase ketiga, masa kemunduran dan
Pase keempat, masa kesadaran

* Masa Pertumbuhan
Masa pertumbuhan terjadi pada awal masa berdirinya negara Islam di Madinah. Meskipun belum dikatakan sempurna sebagai sebuah studi ekonomi, tapi masa itu merupakan benih bagi tonggak-tonggak timbulnya dasar ekonomi Islam. Secara amaliyah, segala dasar dan praktek ekonomi Islam sebagai sebuah sistem telah dipraktekkan pada masa itu, tentunya dengan kondisi yang amat sederhana sesuai dengan masanya. Lembaga keuangan seperti bank dan perusahan besar (PT) tentunya belum ditemukan. Namun demikian lembaga moneter di tingkat pemerintahan telah ada, yaitu berupa Baitul Mal. Perusahaan (PT) pun telah dipaktekkan dalam skala kecil dalam bentuk musyarakah.

* Masa Keemasan
Setelah terjadi beberapa perkembangan dalam kegiatan ekonomi, pada abad ke 2 Hijriyah para ulama mulai meletakkan kaidah-kaidah bagi dibangunnya sistem ekonomi Islam di sebuah negara atau pemerintahan. Kaidah-kaidah ini mencakup cara-cara bertransaksi (akad), pengharaman riba, penentuan harga, hukum syarikah (PT), pengaturan pasar dan lain sebagainya. Namun kaidah-kaidah yang telah disusun ini masih berupa pasal-pasal yang tercecer dalam buku-buku fiqih dan belum menjadi sebuah buku dengan judul ekonomi Islam.
Beberapa karya fiqih yang mengetengahkan persoalan ekonomi, antara lain:
Fiqih Mazdhab Maliki:
Al-Mudawwanah al-Kubrto, karya Imam Malik (93-179 H)
Bidayatul Mujtahid, karya Ibnu Rusyd (wafat 595 H)
Al-Jami’ Li Ahkam al-Quran, karya Imam al-Quirthubi (wafat 671 H)
Al-Syarhu al-Kabir, karya Imam Ahmad al-Dardir (wafat 1201 H)
Fiqih Mazdhab Hanafi:
Ahkam al-Quran, karya Imam Abu Bakar Al-Jassos (wafat 370 H)
Al-Mabsut, karya Imam Syamsuddin al-Syarkhsi (wafat 483 H)
Tuhfah al-Fuqoha, karya Imam Alauddin al-Samarqandu (wafat 540 H)
Bada’i al-Sona’i, karya Imam Alauddin Al-Kasani (wafat 587 H)
Fiqih Mazdhab Syafi’I:
Al-Umm, karya Imam Syafi’I (150-204 H)
Al-Ahkam al-Sulthoniyah, karya Al-Mawardi (wafat 450 H)
Al-Majmu’, karya Imam An-Nawawi (wafat 657 H)
Al-Asybah Wa al-Nadzoir, karya Jalaluddin al-Suyuthi (wafat 911 H)
Nihayah al-Muhtaj, karya Syamsuddin al-Romli (wafat 1004 H)
Fiqih Mazdhab Hambali:
Al-Ahkam al-Sulthoniyah, karya Qodhi Abu Ya’la (wafat 458 H)
Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah (wafat 620 H)
Al-Fatawa al-Kubro, karya Ibnu Taimiyah (wafat 728 H)
A’lamul Muwaqi’in, karya Ibnu qoyim al-Jauziyah (wafat 751 H)

* Dari kitab-kitab tersebut, bila dikaji, maka akan ditemukan banyak hal tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan ekonomi Islam, baik sebagai sebuah sistem maupun keterangan tentang solusi Islam bagi problem-problem ekonomi pada masa itu.
Ibnu Hazm dalam kitabnya “Al-Muhalla” misalnya, memberi penjelasan tentang kewajiban negara menjamin kesejahteraan minimal bagi setiap warga mengara. Konsep ini telah melampaui pemikiran ahli ekonomi saat ini. Demikian pula halnya dengan karya-karya fiqih lain, ia telah meletakkan konsep-konsep ekonomi Islam, seperti prinsip kebebasan dan batasan berekonomi, seberapa jauh intervensi negara dalam kegiatan roda ekonomi, konsep pemilikan swasta (pribadi) dan pemilikan umum dan lain sebagainya.

* Karya-karya Khusus Tentang Ekonomi
Meskipun permasalahan ekonomi telah dibahas secara acak pada buku-buku fiqih, namun pada pase ini terdapat juga karya-karya tentang ekonomi Islam yang membahas secara khusus tentang ekonomi. Karya-karya ini tentunya telah mendahului karya-karya ahli ekonomi Barat saat ini, sebab karya-karya kaum muslimin dalam bidang ini telah ada sejak abad ke 7 M
Karya-karya tersebut antara lain:
Kitab Al-Khoroj, karya Abu Yusuf (wafat 182 H/762 M)
Abu Yusuf adalah seorang qadli (hakim) pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid. Pada saat iitu Harun al-Rasyid meminta beliau menulis tentang pendapatan negara dalam bentuk khoroj (sejenis pajak), zakat, jizyah dan lainnya untuk dijadikan pegangan hukum negara (semacam KUHP sekarang). Dalam mukaddimahnya, Abu Yusuf menulis: “Telah saya tulis apa yang menjadi permintaan tuan, saya pun telah menjelaskannya secara rinci. Oleh karena itu pelajarilah. Saya telah bekerja keras untuk itu dan saya berharap agar tuan dan kaum muslimin memberi masukan. Hal itu karena semata-mata mengharap ridho Allah serta takut akan azabNya. Bila kitab ini sudah jelas, saya berharap agar tuan tidak memungut pajak dengan cara-cara yang zalim dan berbuat tidak baik terhadap rakyat tuan”.
Kitab Al-Khoroj, karya Imam Yahya al-Qursyi (204 H/774 M)
Kitab Al-Amwal, karya Abu Ubaid bin Salam (wafat 224 H/774 M)
Kitab ini telah banyak ditahkik dan dita’liq (dikomentari) oleh Muhammad Hamid Al-Fahi, salah seorang ulama Al-Azhar. Kitab ini pun termasuk kitab terlengkap dalam membahas segala sesuatu yang berhubungan dengan harta di Daulah Islamiyah.
Al-Iktisab Fi al-Rizqi, karya Imam Muhammad al-syaibani (wafat 334 H/815 M)
Dan karya-karya lainnya seperti karya Ibnu Kholdun, Al-Maqrizi, Al-Aini dan lain-lain
Di penghujung abad 14 dan 15 M merupakan titik awal bagi adanya aliran keilmiahan dalam bidang ekonomi modern. Bahkan Syaikh Mahmud Syabanah, mantan wakil rektor Al-Azhar menyatakan bahwa kitab “Mukaddimah” karya Ibnu Kholdun yang terbit pada tahun 784 H atau sekitar abad 13 hingga 14 M adalah bentuk karya yang mirip dengan karya Adam Smith. Bahkan dalam karyanya, ibnu Kholdun juga menulis tentang asas-asas dan berkembangnya peradaban, produktifitas sumber-sumber penghasilan, bentu-bentuk kegiatan ekonomi, teori harga, migrasi penduduk dan lain-lain. Sehingga isi kedua karya ini hampir sama. Perbedaannya hanya terletak pada kondisi dan lingkungan.

* Masa Kemunduran
Dengan ditutupnya opintu ijihad, maka dalam menghadapi perubahan sosial, prinsip-prinsip Islam pada umumnya dan prinsip ekonomi khususnya, tidak berfungsi secara optimal, karena para ulama seakan tidak siap dan berani untuk langsung menelaah kembali sumber asli tasyri’ dalam menjawab perubahan-perubahan tersebut. Mereka lebih suka merujuk pada pendapat imam-imam mazdhab terdahulu dalam mengistimbat suatu hukum, sehingga ilmu-ilmu keislaman lebih bersifat pengulangan dari pada bersifat penemuan.
Tradisi taklid ini menimbulkan stagnasi (kejumudan) dalam mediscover ilmu-ilmu baru, khususnya dalam menjawab hajat manusia di bidang ekonomi. Padahal ijtihad adalah sumber kedua Islam setelah al-Quran dan as-Sunnah. Dan pukulan telak terhadap Islam adalah ketika ditutupnya pintu ijtihad tersebut.

* Masa Kesadaran Kembali
Sejak ditutupnya pintu ijtihad pada abad 15 H, hubungan antara sebagian masyarakat dengan penerapan syariat Islam yang sahih menjadi renggang. Sebagaimana juga telah terhentinya studi-studi tentang ekonomi Islam, hingga sebagian orang telah lupa sama sekali, bahkan ada sebagian pihak yang mengingkari istilah “ekonomi Islam”. Ajaran Islam akhirnya terpojok pada hal-hal ibadah mahdloh dan persoalan perdata saja. Lebih ironis lagi sebagian hal itu pun masih jauh dari ajaran Islam yang benar.
Namun demikian, meskipun studi ilmiah modern dalam bidang ekonomi masih sangat terbatas, namun usaha-usaha telah dilakukan, antara lain:
Pertama, studi ekonomi mikro. Dalam hal ini studi terfokus pada masalah-masalah yang terpisah, seperti pembahasan tentang riba, monopoli, penentuan harga, perbankan, asuransi kebebasan dan intervensi pemerintah pada kegiatan ekonomi dan lain-lain. Langkah ini terlihat dari diadakannya beberapa seminar dan muktamar, antara lain:
Muktamar Internasional tentang fiqih Islam
Pada Muktamar Fiqih Islam pertama yang diadakan di Paris tahun 1951 dibahas masalah-masalah yang berhubungan dengan ekonomi, riba dan konsep pemilikan.
Muktamarr Fiqih Islam kedua diadakan di Damaskus pada bulan April 1961. Dalam muktamar tersebut dibahas tentang asuransi dan sistem hisbah (pengawasan) menurut Islam.
Muktamar Fiqih Islam ketiga diadakan di Kairo pada Mei 1967, membahas tentang asuransi sosial (takaful) menurut Islam
Muktamar Fiqih Islam keempat diadakan di Tunis pada bulan Januari 1975, membahas masalah pemalsuan dan monopoli.
Muktamar Fiqih Islam kelima diadakan di Riyadh pada bulan Nopember 1977 membahas tentang sistem pemilikan dan status sosial menurut Islam.
Muktamar Fiqih Islam sedunia, diadakan di Riyadh juga yang diorganisir oleh Universitas Imam Muhammad bin Saud pada tanggal 23 Oktober hingga Nopemebr 1976, membahas tentang perbankan Islam antara teori dan praktek dan pengaruh penerapan ekonomi Islam di tengah-tengah masyarakat.
Muktamar Lembaga Riset Islam di Kairo. Dalam hal ini sedikitnya telah delapan kali mengadakan muktamar yang membahas tentang ekonomi Islam.
Pertemuan studi sosiologi negara-negara Arab.
Seminar Dewan Pembinaan Ilmu Pengetahuan, satra dan sosial (seksi ekonomi dan keuangan).
Muktamar Ekonomi Islam Internasional, antara lain: Muktamar Ekonomi Islam Sedunia pertama , diadakan di Makkah pada tanggal 21-26 Pebruari 1976 dan Muktamar ekonomi Islam, diadakan di London pada bulan Juli 1977.
Hingga saat ini buku-buku tentang ekonomi Islam, baik dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris serta bahasa lainnya dapat kita temukan di toko-toko buku. Buah dari semaraknya studi-studi ekonomi Islam ini membuahkan berdirinya bank-bank Islam, baik dalam skala nasional maupun internasional. Dalam skala internasional misalnya, telah berdiri Islamic Development Bank (IDB/Bank Pembangunan Islam) yang kantornya berkedudukan di Jeddah Saudi Arabia. Dalam agreemen establishing the islamic Development Bank (anggaran dasar IDB) pada article 2 disebutkan bahwa salah satu fungsi dan kekuatan IDB pada ayat (xi) adalah melaksanakan penelitian untuk kegiatan ekonomi, keuangan dan perbankan di negara-negara muslim dapat sejalan dengan syari’ah. IDB juga telah memberikan bantuan teknis, baik dalam bentuk mensponsori penyelenggaraan seminar-seminar ekonomi dan perbankan Islam di seluruh dunia maupun dalam bentuk pembiayaan untuk tenaga perbankan yang belajar di bank Islam serta tenaga ahli bank yang ditempatkan di bank Islam yang baru berdiri.
Bukti lain maraknya pelaksanaan ekonomi Islam adalah laporan dari data yang diambil dari Directory Of Islamic Financial Institutions tahun 1988 terbitan IRTI/IDB bahwa sedikitnya telah 32 bank Islam berdiri (sebelum Bank Muamalat Indonesia berdiri) di seluruh dunia, termasuk di Eropa. Bila di Indoneisa banyak bank konvensional beralih bentuk ke bank syari’ah, berarti pertumbuhan bank syari’ah semakin cepat dan diminati oleh kalangan usahawan, belum lagi pertumbuhan bank syari’ah di negara lain dalam dekade ini, seperti di Malaysia dan negara-negara Islam lainnya.

(http://tarbiyahweekly.wordpress.com/2007/10/25/sejarah-perkembangan-ilmu-ekonomi-islam/)

* SEJARAH PERKEMBANGAN EKONOMI ISLAM

Awal mula sejarah perbankan syariah dimulai dari mesir tentang perbankan secara iislami.dimana sistemnya dengan dibuat dengan secara aturan islam. dimana secara aturan islam yang saling menguntungkan dan halal dalam islam. sedangkan di indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. [1].Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Ekonomi syariah berkembang bersama Islam itu sendiri, meski demikian perkembangan keilmuannya mengalami proses yang berbeda. Secara umum kita bisa membaginya sebagai berikut.

l Periode Pertama/Fondasi (Masa awal Islam – 450 H / 1058 M)
Pada periode ini banyak sarjana muslim yang pernah hidup bersama para sahabat Rosulullah dan para tabi’in sehingga dapat memperoleh referensi ajaran Islam yang akurat. Seperti Zayd bin Ali (120 H / 798 M), Abu Yusuf (182/798), Muhammad Bin Hasan al Shaybani (189/804), Abu Ubayd (224/838) Al Kindi (260/873), Junayd Baghdadi (297/910), Ibnu Miskwayh (421/1030), dll.

l Periode Kedua (450 – 850 H / 1058 – 1446 M)
Pemikiran ekonomi pada masa ini banyak dilatarbelakangi oleh menjamurnya korupsi dan dekadensi moral, serta melebarnya kesenjangan antara golongan miskin dan kaya, meskipun secara umum kondisi perekonomian masyarakat Islam berada dalam taraf kemakmuran. Terdapat pemikir-pemikir besar yang karyanya banyak dijadikan rujukan hingga kini, misalnya Al Ghazali (451-505 H / 1055-1111 M), Nasiruddin Tutsi (485 H /1093 M), Ibnu Taimyah (661-728 H / 1263-1328 M), Ibnu Khaldun (732-808 H/ 1332-1404 M), Al Maghrizi (767-846 H / 1364-1442 M), Abu Ishaq Al Shatibi (1388 M), Abdul Qadir Jaelani (1169 M), Ibnul Qayyim (1350 M), dll.


l Periode Ketiga (850 – 1350 H / 1446 – 1932 M)
Dalam periode ketiga ini kejayaan pemikiran, dan juga dalam bidang lainnya, dari umat Islam sebenarnya telah mengalami penurunan. Namun demikian, terdapat beberapa pemikiran ekonomi yang berbobot selama dua ratus tahun terakhir, Seperti Shah Waliullah (1114-1176 M / 1703-1762 M), Muhammad bin Abdul Wahab (1206 H / 1787 M), Jamaluddin al Afghani (1294 M / 1897 M), Muhammad Abduh (1320 H / 1905 M), Ibnu Nujaym (1562 M), dll

l Periode Kontemporer (1930 –sekarang)
Era tahun 1930-an merupakan masa kebangkitan kembali intelektualitas di dunia Islam. Kemerdekaan negara-negara muslim dari kolonialisme Barat turut mendorong semangat para sarjana muslim dalam mengembangkan pemikirannya. Zarqa (1992) mengklasifikasikan kontributor pemikiran ekonomi berasal dari: (1) ahli syariah Islam, (2) ahli ekonomi konvensional, dan (3) ahli syariah Islam sekaligus ekonomi konvensional.
Ø Ahmad, Khurshid (1985 h. 9-11) membagi perkembangan pemikiran ekonomi Islam kontemporer menjadi 4 fase sebagaimana berikut:
Ø Fase Pertama
Pada pertengahan 1930-an banyak muncul analisis – analisis masalah ekonomi sosial dari sudut syariah Islam sebagai wujud kepedulian teradap dunia Islam yang secara umum dikuasai oleh negara-negara Barat. Meskipun kebanyakan analisis ini berasal dari para ulama yang tidak memiliki pendidikan formal bidang ekonomi, namun langkah mereka telah membuka kesadaran baru tentang perlunya perhatian yang serius terhadap masalah sosial ekonomi. Berbeda dengan para modernis dan apologist yang umum berupaya untuk menginterpretasikan ajaran Islam sedemikian rupa sehingga sesuai dengan praktek ekonomi modern, para ulama ini secara berani justru menegaskan kembali posisi Islam sebagai comperehensive way of life, dan mendorong untuk suatu perombakan tatanan ekonomi dunia yang ada menuju tatatan yang lebih Islami. Meskipun pemikiran-pemikiran ini masih banyak membahas hal-hal elementer dan dalam lingkup yang terbatas, namun telah menandai sebuah kebangkitan pemikiran Islam modern.


Ø Fase Kedua
Pada sekitar tahun 1970-an banyak ekonom muslim yang berjuang keras mengembangkan aspek tertentu dari ilmu ekonomi Islam , terutama dari sisi moneter. Mereka banyak mengetengahkan pembahasan tentang bunga dan riba dan mulai menawarkan alternatif pengganti bunga. Kerangka kerja suatu perbankang yang bebas bunga mendapat bahasan yang komperehensif. Berbagai pertemuan internasional untuk pembahasan ekonomi Islam diselenggarakan untuk mempercepat akselerasi penmgembangan dan memperdalam cakupan bahasan ekonomi Islam. Konferensi internasional pertama diadakan di Mekkah, Saudi Arabia pada tahun 1976, disusul Konferensi Internasional tentang Islam dan Tata Ekonomi Internasional Baru di London, Inggris pada tahun 1977, dua seminar Ilmu Ekonomi Fiskal dan Moneter Islam di Mekkah (1978) dan di Islamabad, Pakistan (1981), Konferensi tentang Perbankan Islam dan Strategi Kerjasama Ekonomi di Baden-baden Jerman Barat (1982), serta Konferensi Internasional Kedua tentang Ekonomi Islam di Islamabad (1983). Pertemuan yang terakhir ini secara rutin tetap berlangsung (2001) dengan tuan rumah negara-negara Islam. Sejak itu banyak karya tulis yang dihasilkan dalam wujud makalah, jurnal ilmiah hingga berupa buku.

Ø Fase Ketiga
Perkembangan pemikiran ekonomi Islam selama satu setengah dekade terakhir menandai fase ketiga di mana banyak berisi upaya-upaya praktikal-operasional bagi realisasi perbankan tanpa bunga, baik di sektor publik maupun swasta. Bank-bank tanpa bunga banyak didirikan, baik di negara-negara muslim maupun di negara-negara non muslim, misalnya di Eropa dan Amerika. Dengan berbagai kelemahan dan kekurangan atas konsep bank tanpa bunga yang digagas oleh para ekonom muslim –dan karenannya terus disempurnakan- langkah ini menunjukkan kekuatan riil dan keniscayaan dari sebuah teori keuangan tanpa bunga.

Ø Fase Keempat
Pada saat ini perkembangan ekonomi Islam sedang menuju kepada sebuah pembahasan yang lebih integral dan komperehensif terhadap teori dan praktek ekonomi Islam. Adanya berbagai keguncangan dalam sistem ekonomi konvensional, yaitu kapitalisme dan sosialisme, menjadi sebuah tantangan sekaligus peluang bagi implementasi ekonomi Islam. Dari sisi teori dan konsep yang terpenting adalah membangun sebuah kerangka ilmu ekonomi yang menyeluruh dan menyatu, baik dari aspek mikro maupun makro ekonomi. Berbagai metode ilmiah yang baku banyak diaplikasikan di sini. Dari sisi praktikal adalah bagaimana kinerja lembaga ekonomi yang telah ada (misalnya bank tanpa bunga) dapat berjalan baik dengan menunjukkan segala keunggulannya, serta perlunya upaya yang berkesinambungan untuk mengaplikasikan teori ekonomi Islam. Hal-hal inilah yang banyak menjadi perhatian dari para ekonom muslim saat ini.

Sampai januari 2007, diperkirakan ada 300 bank dan institusi finansial bebasis syariah di seluruh dunia yang asetnya diproyeksikan akan tumbuh sebesar 1 triliun dollar pada 2013. Ketimbang negara-negara Eropa lainnya, Inggris paling dulu merealisasikan sistem keuangan syariah. Awalnya adalah kelimpahan dana dari negara-negara Timur Tengah saat harga minyak bumi meroket pada sekitar 2000-an. Jadilah, Inggris bersiap diri untuk mengolah dana ini.Dalam catatan, jumlah penduduk London pada 2005 berada di angka 7,4 juta jiwa. Total penduduk Inggris sebanyak 60 juta orang. Dari jumlah itu, 1,8 juta jiwa beragama Islam. Pemerintah berikut industri perbankan Inggris melihat kenyatan ini sebagai pasar yang potensial

(http://muanhinata.multiply.com/reviews/item/18?&show_interstitial=1&u=%2Freviews%2Fitem)

* Sejarah Singkat Perkembangan Ekonomi Islam di Indonesia
oleh:Ahmad Yamany Arsyad


Ekonomi islam dalam tiga dasawarsa ini mengalami kemajuan yang pesat, baik dalam kajian akademis di perguruan tinggi maupun dalam praktek operasional. Dalam bentuk pengajaran, ekonomi islam telah dikembangkan di beberapa universitas baik di negara-negara muslim, maupun di negara-negara barat, seperti USA, Inggris, Australia, dan Iain-lain.
Dalam bentuk praktek, ekonomi islam telah berkembang dalam bentuk lembaga perbankan dan juga lembaga-lembaga islam non bank lainya. Sampai saat ini, lembaga perbankan dan lembaga keuangan islam lainya telah menyebar ke 75 negara termasuk ke negara barat (WASPADA online).
Di Indonesia, perkembangan pembelajaran dan pelaksanaan ekonomi islam juga telah mengalami kemajuan yang pesat. Pembelajaran tentang ekonomi islam telah diajarkan di beberapa perguruan tinggi negeri maupun swasta. Perkembangan ekonomi islam telah mulai mendapatkan momentum sejak didirikannya Bank Muamalat pada tahun 1992. Berbagai Undang-Undangnya yang mendukung tentang sistem ekonomi tersebutpun mulai dibuat, seperti UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, bahkan mendapat dukungan langsung dari bapak wakil presiden Indonesia, Jusuf Kalla.
Sejarah Berdirinya
Sebenarnya aksi maupun pemikiran tentang ekonomi berdasarkan islam memiliki sejarah yang amat panjang. Pada sekitar tahun 1911 telah berdiri organisasi Syarikat Dagang Islam yang beranggotakan tokoh-tokoh atau intelektual muslim saat itu, serta ekonomi islam ini sesuai dengan pedoman seluruh umat islam di dunia yaitu di dalam Al-Qur'an yang mengatakan bahwa jika kamu akan bermuamalah, hendaklah kamu menuliskannya dengan benar, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakannya (apa yang akan dituliskan itu), dan janganlah orang itu mengurangi sedikit pun dari utangnya. Jika orang yang mengutang itu lemah akalnya atau lemah keadaanya atau tidak mampu mengimlakannya, maka hendaklah walinya yang mengimlakannya dengan jujur. Selain itu juga harus didatangkan dua orang saksi dari orang lelaki. Jika tidak ada maka boleh dengan seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu kehendaki, dan jangalah saksi itu enggan memberikan memberi keterangan apabila mereka dipanggil, dan janganlah engkau jemu menulis utang itu baik kecil maupun besar sampai batas waktu pembayaranya. Kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai kamu, maka tak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskanya. Dan persaksikanlah apabila kau berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling menyulitkan (Q, S Al-Baqarah: 282).
Perkembangan ekonomi islam yang semakin marak ini merupakan cerminan dan kerinduan umat islam di Indonesia ini khususnya seorang pedagang, berinvestasi, bahkan berbisnis yang secara islami dan diridhoi oleh Allah swt. Dukungan serta komitmen dari Bank Indonesia dalam keikutsertaanya dalam perkembangan ekonomi islam dalam negeripun merupakan jawaban atas gairah dan kerinduan dan telah menjadi awalan bergeraknya pemikiran dan praktek ekonomi islam di dalam negeri, juga sebagai pembaharuan ekonomi dalam negeri yang masih penuh kerusakan ini, serta awal kebangkitan ekonomi islam di Indonesia maupun di seluruh dunia, misalnya di Indonesia berdiri Bank Muamalat tahun 1992.
Pada awal tahun 1997, terjadi krisis ekonomi di Indonesia yang berdampak besar terhadap goncangan lembaga perbankan yang berakhir likuidasi pada sejumlah bank, Bank Islam atau Bank Syariah malah bertambah semakin pesat. Pada tahun 1998, sistem perbankan islam dan gerakan ekonomi islam di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Tantangan yang harus dihadapi
Namun selain itu sesuai dengan perkembangan ekonomi global dan semakin meningkatnya minat masyarakat dengan ekonomi perbankan secara islami, ekonomi islam mendapat tantangan yang sangat besar pula. Setidaknya ada tiga tantangan yang harus dihadapi, yaitu: Pertama, ujian atas kredibilitas sistem ekonomi dan keuanganya. Kedua, bagaimana sistem ekonomi islam dapat meningkatkan dan menjamin atas kelangsungan hidup dan kesejahteraan seluruh umat, dapat menghapus kemiskinan dan pengangguran di Indonesia ini yang semakin marak, serta dapat memajukan ekonomi dalam negeri yang masih terpuruk dan dinilai rendah oleh negara lain. Dan yang ketiga, mengenai perangkat peraturan; hukum dan kebijakan baik dalam skala nasional maupun dalam skala internasional. Untuk menjawab pertanyaan itu, telah dibentuk sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang tersebut yaitu organisasi IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia).
Organisasi tersebut didirikan dimaksudkan untuk membangun jaringan kerja sama dalam mengembangkan ekonomi islam di Indonesia baik secara akademis maupun secara praktek. Dengan berdirinya organisasi tersebut, diharapkan agar para ahli ekonomi islam yang terdiri dari akademisi dan praktisi dapat bekerja sama untuk menjalankan pendapat dan aksinya secara bersama-sama, baik dalam penyelenggaraan kajian melalui forum-forum ilmiah ataupun riset, maupun dalam melaksankan pengenalan tentang sistem ekonomi islam kepada masyarakat luas. Dengan cara seperti itu, maka InsyaAllah segala ujian yang diberikan dapat dipikirkan dan ditemukan solusinya secara bersama sehingga pergerakannya bisa lebih efektif dalam pembangunan ekonomi seluruh umat.
Harus diakui bahwa perkembangan ekonomi islam merupakan bagian penting dari pembangunan ekonomi bangsa dan juga mayoritas muslim, bukan hanya sebuah gerakan sebagaimana penilaian dan pemikiran oleh sebagian orang yang sama sekali tidak paham tentang karakteristik ekonomi syari'ah.
Hikmah didirikannya ekonomi islampun sangat banyak, salah satunya praktek ekonomi islam ini mengajarkan pada kita bahwa perbuatan riba (melebih-lebihkan) itu adalah perbuatan dosa besar yang sangat dibenci oleh Allah SWT dan mengajarkan pada kita agar menjauhi perbuatan tersebut. Selain itu ekonomi islam juga sebagai wadah menyimpan dan meminjam uang secara halal dan diridhoi oleh Allah SWT.

(http://yamanyarsyad.blogspot.com/2010/05/sejarah-singkat-perkembangan-ekonomi.html)

* PEMIKIRAN EKONOMI ABU YUSUF

Adapun nama panjang dari Abu yusuf adalah Imam Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim bin Habib al-anshari al-jalbi al-Kufi al-Baghdadi. Di panggil al-anshari karena ibunya masih keturunan dari salah seorang sahabat Rasulullah Saw., Sa`ad Al-Anshari. Beliau dilahirkan di kota Kufa. Pada masa kecilnya, Imam Abu Yusuf memiliki ketertarikan yang kuat pada ilmu pengetahuan, terutama pada ilmu hadis. Abu Yusuf menimba berbagai ilmu kepada banyak ulama besar, seperti Abu Muhammad atho bin as-Saib Al-kufi, Pendidikannya dimulai dari belajar hadits dari bebearapa tokoh. Ia juga ahli dalam bidang fiqh, beliau belajar dari seorang guru yang bernama Muhammad Ibnu abdur Rohman bin Abi laila yang lebih di kenal dengan nama Ibn Abi Laila.selam tujuh belas tahun Abu Yusuf tiada henti-hentinya belajar kepada Abu hanifa, iapun terkenal sebagai salah satu murid terkemuka Abu Hanifa.

Adapun buku-buku yang pernah ditulis Abu Yusuf seperti:

1. kitab al-Atsar

2. kitab ikhtilaf Ibni Abi Hanifa wa Laila

3. Kitab ar-Radd ala al-Siyar Auza`i

4. Kitab al-Kharaj. Buku ini merupakan buku yang paling popular dari kepopuleran buku-bukunya yang lain. Dengan buku ini dia dianugerahi sebagai Ulan fikih dan ahli ekonomi klasik muslim.

* Latar Belakang Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf

Latar belakang pemikirannya tentang ekonomi, setidaknya dipengaruhi beberapa faktor, baik intern maupun ekstern. Faktor intern muncul dari latar belakang pendidikannya yang dipengaruhi dari beberapa gurunya. Hal ini nampak dari, setting social dalam penetapan kebijakan yang dikeluarkannya, tidak keluar dari konteksnya. Ia berupaya melepaskan belenggu pemikiran yang telah digariskan para pendahulu, dengan cara mengedepankan rasionalitas dengan tidak bertaqlid. Faktor ekstern, adanya system pemerintahan yang absolute dan terjadinya pemberontakan masyarakat terhadap kebijakan khalifah yang sering menindas rakyat. Ia tumbuh dalam keadaan politik dan ekonomi kenegaraan yang tidak stabil, karena antara penguasa dan tokoh agama sulit untuk dipertemukan. Dengan setting social seperti itulah Abu Yusuf tampil dengan pemikiran ekonomi al-Kharaj.

* Mekanisme Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf

Adapun yang menjadi kekuatan utama pemikiran abu yusuf adalah dalam masalah keuangan publik. Dengan daya observasi dan analisisnya, abu yusuf menguraikan masalah keuangan dan menunjukkan beberapa kebijakan yang harus diadobsi bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. beliau melihat bahwa sektor Negara sebagai satu mekanisme yang memungkinkan warga Negara melakukan campur tangan atas proses ekonomi. Bagaimana mekanisme pengaturan tersebut dalam menentukan : Tingkat pajak yang sesuai dan seimbang dalam upaya menghindari perekonomian Negara dari ancaman resesi. Sebuah arahan yang jelas tentang pengeluaran pemerintah untuk tujuan yang diinginkan oleh kebijaksanaan umum. Untuk dapat mewujudkan keadaan tersebut Abu Yusuf meletakkan beberapa macam mekanisme, yakni:

1. Menggantikan system wazifah dengan system muqosomah.

2. Membangun fleksibilitas social

3. Membangun system politik dan ekonomi yang transparan.

4. Menciptakan system ekonomi yang otonom

* Sistem Ekonomi Abu Yusuf

Sistem ekonomi yang dikehendaki oleh Abu yusuf adalah satu upaya untuk mencapai kemaslahatan ummat. Kemaslahatan ini didasarkan pada al-Qur’an, al- Hadits, maupun landasan-landasan lainnya. Hal inilah yang nampak dalam pembahasannya kitab al-Kharaj. Kemaslahatan yang dimaksud oleh Abu Yusuf adalah, yang dalam termiologi fiqh disebut dengan Maslahah/ kesejahteraan, baik sifatnya individu (mikro) maupun (makro) kelompok. Secara mikro juga diharapkan bahwa manusia dapat menikmati hidup dalam kedamaian dan ketenangan dalam hubungan interaksi sosial antar sesama, dan diatur dengan tatanan masyarakat yang saling menghargai antar masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Ukuran maslahah, menurut Abu Yusuf dapat diukur dari beberapa aspek, yaitu keseimbangan, (tawazun), kehendak bebas (al-Ikhtiar), tanggung jawab/keadilan (al-‘adalah/accountability), dan berbuat baik (al-Ikhsan). Jika konsepsi maslahah yang dipakai oleh Abu yusuf adalah konsepsi As-Syatibi, maka teori analalisis ekonominya dikategorikan sebagai bentuk dari al_maslahah al-Mu’tabarah. Selain itu Konsep maslahah ummat seperti ini jika dikembangkan dalam wacana ekonomi masa sekarang dan mendatang adalah sangat memungkinkan. Hal ini nampak, selain dari struktur bangunan pemikirannya yang berangkat pada pengembangan moral etis agamis, juga terlihat dari filterisasi at-Tawazun, alikhtiyar, al-‘adalah, al-Ikhsan, yang memungkinkan etika ekonomi bergerak lebih leluasa dan ideal dalam dinamika sosio cultural masyarakat tanpa harus meninggalkan bagian normatifitas transendental ajaran agama.

(http://kismawadi.blogspot.com/2010/05/pemikiran-ekonomi-abu-yusuf.html)

* B. Pemikiran Abu Ubaid dalam Ekonomi

1. Biografi

Abu Ubaid bernama Lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi. Beliau terlahir dikota Hirrah Khurasan sebelah barat laut Afganistan pada tahun 150 H dari ayah keturunan Byzantium, maula dari suku Azad.[20] Ia belajar pertamakali dikota asalnya, lalu pada usia 20 dia mulai berkelana dan mencari ilmu ke Kufah, Basrah, dan Baghdad untuk belajar tata bahasa Arab, qirâ’ah, tafsir, hadis, dan fikih (di mana tidak dalam satu bidang pun ia bermadzhab tetapi mengikuti dari paham tengah campuran). Pada tahun 192 H, Thâbit ibn Nasr ibn Mâlik (gubernur yang ditunjuk Harun al Rasyid untuk propinsi Thughur) menunjuknya sebagai qâdi’ di Tarsus sampai 210 H. Kemudian ia tinggal di Baghdad selama 10 tahun, pada tahun 219 H, setelah berhaji ia tinggal di Mekkah sampai wafatnya. Ia meninggal pada tahun 224 H.

2. Karya Abu Ubaid

Dalam setiap harinya, Menurut Abû Bakar ibn Al-Anbari, Abû ‘Ubaid membagi malamnya pada 3 bagian, 1/3 nya untuk tidur, 1/3 nya untuk shalat malam dan 1/3 nya untuk mengarang.Bagi Abû ‘Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya dari pada menggoreskan pedang di jalan AllahHasil karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu nahwu, qirâ’ah, fikih, syair dan lain-lain.Yang terbesar dan terkenal adalah Kitâb Al-Amwâl dalam bidang fikih.Kitâb al-Amwâl dari Abû ‘Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam Islam.Buku ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama abad kedua Hijrah. Buku ini juga merupakan rangkuman (compendium) tradisi asli (authentic) dari Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi’în tentang masalah ekonomi.[21] Dalam bukunya tersebut Abû ‘Ubaid tidak hanya mengungkapkan pendapat orang lain tetapi juga mengemukakan pendapatnya sendiri.

Kitab al Amwal merupakan sebuah mahakarya tentang ekonomi yang dibuat oleh Abu Ubaid yang menekankan beberapa issu mengenai perpajakan, hukum, serta hukum administrasi dan hukum internasional. Kitab Al-Amwal secara komprehensif membahas tentang sistem keuangan publik islam terutama pada bidang administrasi pemerintahan. kitab ini juga memuat sejarah ekonomi Islam selama dua abad pertama hijriyah, dan merupakan sebuah ringkasan tradisi Islam asli dari Nabi, para sahabat dan para pengikutnya mengenai permasalahan ekonomi. Abu ubaid, dalam Kitab Al-Amwal, banyak mengutip pandangan dan perlakuan ekonomi dari imam dan ulama terdahulu. Ia sering mengutip pandangan Malik ibn Anas dan pandangan sebagian besar ulama madzhab Syafi’i lainnya, dan juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani.[22]

3. Pandangan Ekonomi Abu Ubaid

a. Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi[23]

Abû ‘Ubaid dalam Al-Amwal jika dilihat dari sisi filsafat hukum maka akan tampak bahwa Abû ‘Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik dan negara; jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik.

Tulisan-tulisan Abû ‘Ubaid lahir pada masa kuatnya Dinasti Abbasiyah dan tidak ada masalah legitimasi, sehingga pemikirannya seringkali menekankan pada kebijakan khalifah untuk membuat keputusan (dengan kehati-hatian).Khalifah diberikan kebebasan memilih di antara alternatif pandangannya asalkan dalam tindakannya itu berdasarkan pada ajaran Islam dan diarahkan pada kemanfaatan kaum Muslim, yang tidak berdasarkan pada kepentingan pribadi.

Lebih jauh, pengakuannya terhadap otoritas imam dalam memutuskan untuk kepentingan publik seperti membagi tanah taklukan pada para penakluk ataupun membiarkan kepemilikannya pada penduduk setempat atau lokal, adalah termasuk dalam hal tersebut. Mirip dengan itu setelah mengungkap alokasi dari khums, ia menyebutkan bahwa imam yang adil dapat memperluas batasan-batasan yang telah ditentukan apabila mendesaknya kepentingan publik. Akan tetapi di lain pihak, Abû ‘Ubaid dalam pembahasannya secara tegas menekankan bahwa pembendaharaan negara tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya.

Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial dari subyek non-Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai “capacity to pay” (kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan para penerima Muslim.

Ia membela pendapat bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan tapi dapat diturunkan jika terjadi ketidakmampuan membayar serius. Ia juga menjelaskan beberapa bab untuk menekankan, di satu sisi bahwa pengumpul kharaj, jizyah ‘ushur atau zakat tidak boleh menyiksa subyeknya dan di sisi lain bahwa para subyek harus memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan pantas (wajar).

Dengan perkataan lain, Abû ‘Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak.

b. Dikotomi Badui ke Urban

Abû ‘Ubaid menegaskan bahwa berbeda dengan kaum badui ( masyarakat tradisional/desa), kaum urban atau perkotaan: 1) ikut terhadap keberlangsungan negara dengan berbagi kewajiban administrasi dari semua muslim; 2) memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mobilisasi jiwa dan harta mereka; 3) menggalakkan pendidikan dan pengajaran melalui pembelajaran dan pengajaran al-Qur’an dan al-Sunnah dengan diseminasi (penyebaran) keunggulan kualitas isinya; 4) melakukan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerapan hudud; 5) memberikan contoh universalisme Islam dengan shalat berjamaah[24]

Singkatnya disamping keadilan ‘Abû ‘Ubaid mengembangkan suatu negara Islam yang berdasarkan administrasi, pertahanan, pendidikan, hukum dan cinta. Karakteristik tersebut hanya diberikan oleh Allah kepada kaum Urban, kaum Badui biasanya tidak menyumbang pada kewajiban publik sebagaimana kewajiban kaum Urban, tidak dapat menerima manfaat pendapatan fai’ seperti kaum Urban, mereka tidak berhak menerima tunjangan dan provisi dari negara, mereka memiliki hak klaim sementara terhadap penerimaan fai’ hanya pada saat terjadi tiga kondisi krisis seperti saat invasi atau penyerangan musuh, kekeringan yang dahsyat, dan kerusuhan sipil.

Abû ‘Ubaid memperluas aturan ini pada masyarakat pegunungan dan pedesaan, sementara ia memberikan kepada anak-anak perkotaan hak yang sama dengan orang dewasa terhadap tunjangan walaupun kecil yang berasal dari pendapatan fai’, yang mungkin karena menganggap mereka (anak-anak) sebagai penyumbang potensial terhadap kewajiban publik yang terkait. Lebih lanjut Abû ‘Ubaid mengakui adanya hak dari para budak perkotaan terhadap arzak (jatah) yang bukan tunjangan[25]

Dari semua ini Abû ‘Ubaid membedakan antara kehidupan para badui dengan kultur menetap perkotaan dan mengembangkan komunitas muslim atas dasar perhargaan martabat perkotaan.Solidaritas serta kerjasama merasakan kohesi sosial berorientasi urban dan komitmen vertikal dan horizontal sebagai unsur esensial dari stabilitas sosio politik dan makroekonomi. Dari apa yang dibahas sejauh ini dapat terbukti bahwa Abû ‘Ubaid selalu memelihara keseimbangan antara hak-hak dengan kewajiban-kewajiban warganegara.

c. Kepemilikan Publik[26]

Abû ‘Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan publik karena pendekatan terhadap kepemilikan tersebut sudah sangat dikenal dan dibahas secara luas oleh banyak ulama.

Saya mengiginkan suatu hal yang dapat mencukupi generasi yang pertama dan generasi yang terakhir

Pernyataan abu ubaid diatas mengisyaratkan bahwasannya keuntungan yang didapat dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat islam.

d. Kepemilikan dalam Pandangan Kebijakan Perbaikan Pertanian[27]

Sesuatu yang baru dalam hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian ditemukan oleh Abû ‘Ubaid secara implisit.Menurutnya, kebijakan pemerintahan seperti iqtâ’ terhadap tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari tanah tandus atau tanah yang sedang diusahakan kesuburannya atau diperbaiki sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian.Jika dibiarkan sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika dibiarkan menganggur selama tiga tahun berturut-turut akan didenda dan kemudian akan dialihkan kepemilikannya oleh imam. Bahkan tanah gurun yang termasuk dalam hima, pribadi dengan maksud untuk direklamasi jika tidak ditanami dalam periode yang sama dapat ditempati oleh orang lain dengan proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami setelah diairi, manakala tandus, kering atau rawa-rawa.

Jadi, menurut Abû ‘Ubaid sumber dari publik seperti sumber air, pada rumput penggembalaan dan tambang minyak tidak boleh pernah dimonopoli seperti pada hima (tanam pribadi). Semua ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang digunakan untuk pelayanan masyarakat.

e. Pertimbangan Kepentingan[28]

Setelah merujuk pada banyak pendapat tentang seberapa besar seseorang berhak menerima zakat.Abû ‘Ubaid sangat tidak setuju dengan mereka yang berpendapat bahwa pembagian yang sama antara delapan kelompok dari penerima zakat dan cenderung untuk meletakkan suatu batas tertinggi (ceiling) terhadap penerimaan perorangan. Bagi Abû ‘Ubaid yang paling penting adalah memenuhi kebutuhan dasar seberapapun besarnya serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari kelaparan dan kekurangan.

Karenanya pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga tingkatan sosio ekonomi pengelompokan yang terkait dengan status zakat yaitu kalangan kaya yang terkena wajib zakat, kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Berkaitan dengan itu ia mengemukakan pentingnya distribusi kekayaan melalui zakat. Secara umum‘Abû ‘Ubaid mengadopsi prinsip “bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing” (likulli wâhidin hasba hâjatihi) dan ia secara mendasar lebih condong pada prinsip “bagi setiap orang adalah menurut haknya”,

f. Fungsi Uang[29]

Pada prinsipnya, Abû ‘Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang yang tidak mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange).dalam hal ini ia menyatakan:

“ Ada hal yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak tidak layak untuk apa pun kecuali keduannya menjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari kedua benda ini adalah penggunaan untuk membeli sesuatu (infaq).

Pernyataan abu ubaid tersebut menunjukkan bahwa ia mendukung teori konvensional mengenai uang logam, walaupun sama sekali tidak menjelaskan mengapa emas dan perak tidak layak untuk apa pun kecuali keduannya menjadi harga dari barang dan jasa. Tampak jelas bahwa pendekatan ini menunjukkan dukungan Abû ‘Ubaid terhadap teori ekonomi mengenai yang logam, ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya. Walaupun Abû ‘Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan nilai (store of value) dari emas dan perak, ia secara implisit mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan jumlah zakatnya.

(http://aberatsafeliz.blogspot.com/2012/05/sejarah-pemikiran-abu-yusuf-dan-abu.html)

* Tokoh-tokoh Pemikir Ekonomi Islam

Priode Pertama
Ø

a. Abu Hanifah (80-150 H/ 699- 774 M)
Abu Hanifah hidup pada zaman Daulah Bani Umayyah selama 52 tahun mulai dari Khalifah Abdul Malik (86 H/685 M) dan Daulah Abbasiyah selama 18 tahun. Walaupun ia populer sebagai ahli hukum, ia seorang pedagang di Kufah yang pada waktu itu merupakan pusat kegiatan komersial dalam suatu perekonomian yang sangat berkembang. Ada suatu transaksi yang sangat popular pada masa itu, yaitu salam (kontrak pemesanan barang atau penjualan suatu komoditas yang akan diserahkan pada waktu yang akan datang dengan pembayaran tunai pada waktu kontrak). Abu Hanifah menemukan banyak sekali kerancuan dalam kontrak ini yang mengarah kepada perselisihan. Ia mencoba menghilangkan perselisihan ini dengan merinci apa yang harus diketahui dan dinyatakan secara jelas di dalam kontrak, seperti: jenis komoditasnya, kuantitas dan kualitasnya, serta tanggal dan tempat penyerahannya. Ia meletakkan persyaratan berikutnya yaitu bahwa komoditas harus tersedia di pasar selama periode yang menghalangi (intervening) antara kontrak dan tanggal penyerahan sehingga kedua belah pihak mengetahui bahwa penyerahannya dimungkinkan. Dalam hal ini, pengalaman Abu Hanifah dengan pengetahuan dagang tangan pertama yang dimilikinya telah banyak menolong dalam memberikan pendapat yang serupa lainnya. Adalah bijaksana untuk menghindari perselisihan dengan menghilangkan kebingungan, karena ini adalah tujuan dari syariah yang menyangkut transaksi. Pemikiran Abu Hanifah, (699-767 M) tentang transaksisalam. Tampaknya Abu Hanifah tidak terlalu mempersalahkan transaksisalam sepanjang dalam kontraknya betul-betul clearly stated, yaitu ada kejelasan tentang komoditi, jenis, kualitas, kuantitas dan place of delivery-nya. Di samping itu menurutnya, barang juga disyaratkan harus sesuai dengan transaksi yang ada di dalam transaksi murabahah.3
Hal lainnya adalah masalahmurabahah (kontrak penjualan dengan prosentasi mark up atas harga beli). Pengetahuan langsung Abu Hanifah tentang praktek perdagangan memungkinkannya menentukan peraturan yang menjamin keadilan dalam transaksi ini dan transaksi yang serupa. Abu Hanifah juga memberikan jalan keluar untuk praktek perdagangan lainnya dalam kaitan dengan norma-norma Islami. Abu Hanifah an-Nu'man juga menolak akanmuzara'ah (kontrak bagi hasil pertanian).4
Imam Abu Hanifah sangat peduli kepada mereka yang miskin dan lemah. Oleh karena itu, ia tidak membebaskan perhiasan dari zakat dan tidak membebaskan zakat atas pemiliknya yang mempunyai hutang pada seluruh usahanya. Dalam hal ia menolak memberlakukan (to validate)muzara'ah (kontrak bagi hasil pertanian) semata-mata karena keinginannya untuk membela pihak yang lebih lemah; yaitu penggarap dalam hal tanahnya itu tidak menghasilkan.5

b. Hasan Aisayibani (132-189 H/750-804M)
Muhamad bin al-hasan pernah menulis beberapa buku antara lain kitab al-iktisaf fiil rizqi al-mustshaf dan kitab al-asl. Buku yang oertama banyak membahas aturan syaruat tentang ijarah, tijarah, ziraah, sinaah. Perilaku konsumsi ideal seorang muslim menurutnya adalah sederhana. Buku yang ke dua membahas berbagai bentuk transaksi dalam bisnis, misalnya salam, dan mudharobah.

(http://rezme2k.blogspot.com/2010/12/tokoh-tokoh-pemikir-ekonomi-islam.html)

Kontribusi kaum muslimin yang sangat besar terhadap kelangsungan dan perkembangan pemikiran eknomi serta peradaban dunia pada umumnya, telah diabaikan oleh para ilmuan barat. Menurut chapra, meskipun sebagian kesalahan terletak di tangan umat islam karena tidak mengartikulasikan secara memadai kontribusi kaum muslimin, tapi barat memiliki andil dalam hal ini, karena tidak memberikan perhargaan yang layak atas kontribusi peradaban lain bagi kemajuan pengetahuan manusia. Berkaitan dengan hal itu, M. Nejatullah siddiqi menguraikan sejarah pemikiran ekonomi islam dalam tiga fase, yaitu fase-fase dasar ekonomi islam, fase kemajuan dan fase stagnansi. Penjelasan fase-fase pemikiran dkonomi islam adalah sebagai berikut:

1. Fase pertama (fase abad awal-11 Masehi)
Fase ini dirintis oleh para fuqaha, diikuti sufi dan kemudian para filsuf. Para tokoh pemikir islam pada masa ini adalah:

a. Zaid bin Ali (80-120 H/699-738 M)
Menurutnya penjualan suatu barang secara kredit dengan harga yang lebih tinggi daripada harga tunai merupakan salah saru berntuk transaksi yang sah dan dapat debenarkan selama transaksi tersebut dilandasi oleh prinsip saling ridha antara kedua belah pihak.
Kasus yang biasa terjadi adalah pembelian barang secara kredit atau transaksi yang pembayarannya ditangguhkan. Dalam kasus ini harga yang lebih tinggi ditentukan penjual (jika pembeli menangguhkan pembayaran dengan mencicil) adalah sebagai kompensasi kepada penjual karena memberikan kemudahan kepada pembeli dalam melakukan pembayaran.

b. Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M)
Pada masa hidunya, masyarakat sekitar banyak yang melakukan ransaksi salam, yaitu menjual barang yang akan dikirimkan kemudian sedangkan pembayaran dilakukan secara tunai pada waktu akad disepakati. Abu Hanifah orang yang meragukan keabsahan akad tersebut yang dapat mengarah kepada perselisihan. Ia lalu berusaha menghilangkan ketidakjelasan dalam ada salam dengan diharuskannya merinci lebih khusus apa yang harus diketahui dan dinyatakan dengan jelas di dalam akad, seperti jenis komoditi, mutu, dan kuantitas serta dan waktu dan tempat pengiriman.

c. Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M)
Hal yang paling dikenal dari Abu Yusuf tentang pemikirannya mengenai masalah pengendalian harga (tas’ir). Ia menentang penguasa yang menerapkan harga, argumennya didasarkan pada sunah Rasul. Abu Yusuf menyatakan hasil panen yang melimpah bukan alasan untuk menurunkan harga panen, dan sebaliknya kelangkaan tidak mengakibatkan harganya melambung. Pendapat Abu Yusuf ini merupakan hasil observasi. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa ada kemungkinan kelebihan hasil dapat berdampingan dengan harga yang tinggi dan kelangkaan dengan harga yang renda. Namun, disisi lain, Abu Yusuf juga tidak menolak pernan permintaan dan penawaran dalam penentuan harga.

d. Muhammad bin Al Hasan Al Syaibani (132-189 H/750-804 M)
Pandangan Al Syaibani mengenai ekonomi cenderung memperhatikan perilaku ekonomi seorang muslim sebagai individu. Dalam risalahnya berjudul al-ikhtisab fi ar-rizq al-mustahab banyak membahas mengenai pendaaptan dan belanja rumah tangga. Di juga membagi jenis pekerjaan ke dalam 4 hal, yaitu ijaroh (sewa-menyewa), tijaroh (perdagangan), zira’ah (pertanian), dan shina’ah (industri).

e. Ibnu Miskawih (w.421 H/1030 M)
Salah satu pandangannya yang terkenal adalah mengenai pertukaran dan perkaran uang. Untuk memenuhi kebutuhan, manusia harus bekerjasama dan saling membantu sesame. Konsekuensinya, mereka akan menuntut suatu kompensasi yang pantas.

2. Fase Kedua (abad 11-15 Masehi)
Para pemikir ekonomi islam pada saat ini adalah:

a. Al Ghazali (451-505 H/1055-1111 M)
Fokus utama Al Ghazali tertuju pada perlaku individual yang dibahas secara rinci dengan menunjuk pada Al Quran, sunna, ijma’ sahabat dan tabi’in serta pandangan sufi. Menurutnya, seseorang harus memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya dalam kernagka melaksanakan kewajiban beribadah kepada Allah. Ia juga mengemukakan alasan pelarangan riba fadhl, yakni karena melanggar sifat dan fungsi uang serta mengutuk mereka yang melakukan penimbunan uang dengan dasar uang itu sendiri dibuat untuk memudahkan pertukaran.

b. Ibnu Taimiyah (w.728 H/1328 M)
Fokus perhatian Ibnu Taimiyah terletak pada masyarakat, fondasi moral, dan bagaimana mereka harus membawakan dirinya sesuai dengan syariah. Secara umum, pandangan-pandangan ekonomi Ibnu Taimiyah cenderung bersifat normatif. Namun demikian, terdapat beberapa wawasan ekonominya yang dapat dikatergorikan sebagai pandangan ekonomi positif. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah menyadari sepenuhnya permintaan dan penawaran dalam menentukan harga. Ia juga mencatat pengaruh dari pajak tidak langsung dan bagaimana beban pajak tersebut digeserkan dari penjual yang seharusnya menanggung pajak kepada pembeli yang harus membayar lebih mahal untuk barang-barang yang terkena pajak.

c. Al Maqrizi (845 H/1441 M)
Al Maqrizi melakukan studi khusus tentang uang dari kenaikan harga-harga yang terjadi secara periodic dalam keadaan kelaparan dan kekeringan. Menurut Al Maqrizi, kelangkaan pangan selain disebabkan karena sebab alami oleh kegagalan hujan juga disebabkan hal lain. Al Maqrizi mengidentifikasi tiga sebab dari peristiwa ini, yaitu korupsi dan administrasi yang buruk, beban pajak yang berat terhdap penggarap dan kenaikan pasokan mata uang fulus.

3. Fase Ketiga (1446-1932 Masehi)
Fase ini merupakan fase tertutupnya pintu ijtihad yang mengakibatkan fase ini dekenal juga fase stagnansi. Tokoh-tokoh pemikir ekonomi islam pada fase ini antara lain diwakili oleh Shah Wali Allah (w.1176 H), Jamaluddin Al Afghani (w.1315 H), Muhammad Abduh (w.1320 H), dan Muhammad Iqbal (w.1357 H).

(dikutip dari Handbook Sharia Economics School, UKM Bastiling Fak. Ekonomi Univ. Jember)

http://mofidrabbani.blogspot.com/2011/04/perkembangan-pemikiran-ekonomi-islam.htm